Rabu, 26 September 2012

cerpen : Sang Kepala Desa


MALAM terus berjalan. Melewati Desa Hidup Fakir. Sebuah desa yang terpencil. Jauh dari sebuah kota kecil. Desa yang tak pernah tercatat dalam peta itu begitu senyap. Penduduknya masih jarang. Hampir tidak ada rumah yang berjajar. Hanya ada satu dua rumah yang menempel satu sama lain. Rumah seperti ini, biasanya, merupakan rumah satu yang disekat menjadi dua. Penghuni kedua rumah tersebut masih punya hubungan kekerabatan. Masih bersaudara.
Kebanyakan rumah di sana masih berdinding papan atau gedek alias anyaman bambu, dan beratapkan blarak. Sebagian lainnya setengah permanen. Hanya ada satu dua rumah yang berdinding tembok. Penerangan listrik belum merata. Jika malam tiba, Desa Hidup Fakir laksana kuburan. Sepi. Sunyi. Lengang. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia. Hanya suara binatang malam yang tak pernah henti atau desah suara gesekan daun yang dibelai angin malam.
Malam ini Desa Hidup Fakir benar-benar senyap. Lantaran hujan yang turun sejak sore belum sepenuhnya reda. Kendati butiran air yang jatuh dari langit sudah lebih lembut. Pun, angin malas bertiup. Hingga nyaris tak ada gesekan dedaunan di pucuk pohon seperti pada malam-malam sebelumnya. Padahal biasanya menjelang larut malam angin sudah menciptakan instrumentalia alam. Laksana musik jazz yang terdengar sayup-sayup dari kejauhan.
Binatang malam yang biasanya berdendang tak terdengar suaranya. Entah kenapa pula kodok yang senantiasa bernyanyi riang apabila hujan dicurahkan dari langit, tidak ada yang bersuara. Mereka bungkam. Atau barangkali mereka sedang merenungkan nasib yang dialami sebagian penduduk desa yang terisolir dari desa-desa sekitarnya. Lantaran mereka sudah dipaksa keadaan–makan nasi aking dan harus “berpuasa”. Ya, sejak era reformasi bergulir kehidupan penduduk makin terpuruk. Sudah bertahun-tahun desa itu tak terjamah oleh berita. Apalagi terberitakan ke luar. Mungkin karena orang-orang lebih sibuk memikirkan politik daripada nasib rakyat.
***
DI sebuah gubuk berdinding anyaman bambu, seorang kakek renta tengah duduk di pinggir ambin. Gurat-gurat ketuaan menghiasi wajahnya yang telah keriput. Kerut-kerut yang menjadi garis penghias wajahnya bukan sekadar tanda ia sudah berusia lanjut. Melainkan pula disebabkan beban hidup yang terlalu berat.
Kakek yang tak punya pekerjaan tetap itu duduk di pinggir ambin. Sementara itu, sang istri terbaring lemah. Tidak berdaya. Ambin yang terbuat dari papan itu berderik, tatkala istrinya terbatuk-batuk. Bukan saja karena tempat tidur itu sudah sangat tua. Melainkan juga kaki-kaki tempat tidur itu sudah disangga di sana-sini. Lantaran tempat tidur tersebut sudah lapuk dimakan usia.
“Kalau Karsini masih hidup,” ujar sang nenek, “Barangkali kita tidak akan begini, Pak ne.”
Lelaki tua itu, Sumardi, bergeming. Membisu. Mematung. Tak berusaha memberi jawaban kepada istrinya. Kendati hanya sekadar anggukan atau gelengan kepala.
“Betul kan, Pak ne. Kalau Karsini masih ada kita tak akan…”
Suara Sukemi terhenti. Lantaran ia terbatuk-batuk. Napasnya tersengal-sengal. Kaki ambin kembali berderit-derit.
“Sudahlah Mbok ne. Tidak usah memikirkan yang sudah tak ada. Tak ada artinya menyesali nasib Karsini,” ucap Sumardi, mencoba menenangkan hati istrinya, “Ora ilok, kalau kita membicarakan orang yang sudah mati. Nanti arwahnya tidak tenteram di alam kubur.”
Sukemi diam. Dengan susah payah ia mengatur napas.
Benar. Sudah hampir satu tahun Karsini dikubur. Dimakamkan. Tetapi, kematian anak mereka yang semata wayang tak pernah dapat diterima. Karena kematian Karsini dianggap tidak wajar. Betapa tidak, perempuan yang bekerja sebagai TKW itu tak pernah ada kabar berita sebelumnya. Tahu-tahu anak pasangan Sumardi-Sukemi pulang sudah menjadi mayat.
Andaikata Karsini mendengar pendapat Lesmono. Perempuan itu tak akan pernah mengalami nasib tragis. Mati di tangan majikan. Bahkan bukan di negeri sendiri. Sebab, Lesmono menentang keinginan istrinya yang akan mengadu nasib ke negeri orang.
“Kalau cuma menjadi pembantu kenapa mesti ke luar negeri?” tanya Lesmono, ketika Karsini menyampaikan keinginannya mengadu nasib di negeri orang.
“Tapi, di sana gajinya besar Kang daripada pembantu di….”
“Mungkin benar. Gaji pembantu di sana besar. Tapi masalahnya bekerja itu bukan hanya cari uang. Kamu mesti ingat Kar, kamu punya suami dan anak.”
“Jadi, Kang Mono keberatan kalau saya bekerja di luar negeri.”
“Iya.”
“Saya kerja di luar negeri juga untuk kepentingan keluarga, Kang.”
“Apa selama ini uang yang….”
“Kalau sekadar untuk hidup memang cukup,” Sukemi memotong kalimat yang belum usai dilontarkan menantunya, “Tapi, kami sebagai orang tua ingin ada perbaikan rumah tangga di sini.”
“Sudahlah. Kalau memang saya dianggap tidak mampu memberi nafkah kepada istri lebih baik….”
“Mono!” untuk kedua kalinya Sukemi memotong ucapan menantu, “Kamu kalau ngomong itu mbok ya dipikir dulu.”
“Apa Karsini mau bekerja di luar negeri juga dipikir. Kalau dipikir pasti ia tidak akan jadi. Sebab, ia punya suami sama anak. Apa gunanya hidup menjadi suami-istri jika tak mau tinggal bersama,” kata Lesmono, tak mau kalah.
Karena tidak mau mendengar permintaan suaminya, untuk membatalkan niatnya—bekerja di luar negeri—Lesmono memutuskan pergi dari rumah mertua. Suami Karsini itu pergi bersama Darmo, anaknya yang masih balita.
“Ah, kalau saja Karsini tidak….”
“Yang saya pikirkan sekarang ini justru kita, Mbok ne,” kata Sumardi, “Saya tidak tahu lagi apa yang akan kita makan besok.”
Sukemi diam. Napasnya masih tidak teratur.
“Saya tidak tahu apa yang akan saya dapatkan besok. Asal Mbok ne tahu sudah tidak ada lagi pohon pisang yang masih berbuah,” tambah Sumardi, dengan nada setengah berbisik. Sebab, ia tidak ingin pembicaraannya terdengar orang yang lewat.
***
LELAKI yang rambutnya sudah memutih semua itu menghentikan percakapan dengan istrinya, tatkala mendengar pintu rumahnya diketuk orang dari luar. Tubuhnya mendadak menggigil. Panas dingin. Rasa takut menjalari di sekujur badan.
Setelah berkali-kali pintu diketuk dan tak juga dibukakan oleh tuan rumah. Lelaki yang berdiri di depan pintu rumah Sumardi meneriakkan nama tuan rumah.
“Pak Mardi. Buka pintunya Pak,” sebuah suara yang tidak asing bagi Sumardi terdengar.
Ya, suara itu memang tidak asing bagi tuan rumah. Sebab itu suara Maramian—sang kepala desa.
Sumardi masih bergeming. Jantungnya berdetak semakin tidak menentu. Ia tak bisa membayangkan jika percakapannya dengan Sukemi beberapa saat sebelumnya terdengar oleh kepala desa. Betapa tidak, sudah beberapa hari ini perut mereka hanya diganjal dengan pisang. Buah-buahan itu dicuri dari kebun milik kepala desa. Lantaran ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Sementara itu, Sukemi sudah lama hanya bisa terbaring di ambin.
“Pak Mardi sudah tidak kenal siapa saya?” Maramian kembali mengetuk pintu.
Hening. Tak ada sahutan dari dalam. Tiba-tiba batuk Sukemi kembali terdengar dari luar.
Ambin berderit, tatkala Sumardi bangkit. Menuju pintu. Di depan pintu, Sumardi merasa gamang. Ia ragu untuk mengangkat palang pintu rumahnya. Takut membukakan pintu untuk tamu yang datang malam itu.
Untuk apa Pak Kades kemari? Apa ia sudah tahu siapa yang mengambil pisang di kebunnya? Lalu kenapa harus malam-malam seperti ini? Dari mana Pak Kades tahu jika saya yang selama ini mencuri pisang di kebunnya? Mungkinkah Pak Kades mendengar apa yang saya ….
“Pak Mardi. Buka pintunya Pak,” seru kepala Desa Hidup Fakir, membuyarkan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi pikiran tuan rumah.
Tiba-tiba tangan Sumardi terasa gemetar. Tangan itu mendadak lemas, tatkala mengangkat palang pintu rumah. Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu palang pintu itu menimpa tubuhnya sendiri. Terpukul kepalanya sendiri. Lalu. Bruk. Sumardi terjatuh.
Mendengar suara orang terjatuh, Maramian mendorong pintu yang sudah tidak terhalang oleh balok itu. Dengan susah payah kepala Desa Hidup Fakir akhirnya bisa masuk ke rumah. Karena tubuh Sumardi melintang di depan pintu. Menghalangi terbukanya pintu yang sudah keropos di sana-sini tersebut.
Antara percaya dan tidak, Maramian mendapati tubuh yang terjatuh itu sudah tak bernyawa. Berkali-kali Pak Kades berusaha membangunkan Sumardi. Namun, Sumardi benar-benar sudah tak bereaksi.
Pak Kades bingung setengah mati setelah melihat kondisi Sumardi. Sementara itu, si nenek yang terbaring di ambin. Bahkan semula tampak lemas. Tak bertenaga. Tiba-tiba mampu berteriak sekeras-kerasnya. Ya, Sukemi berteriak, “Tolong … tolong…” berkali-kali sambil menunjuk kepala desa yang berjongkok. Mematung di depan jasad Sumardi.
Belum sempat Maramian berbuat sesuatu, warga sekitar sudah berdatangan ke sana. Entah siapa yang memulai. Tiba-tiba kepala desa itu dihakimi warganya sendiri. Kepala desa dianggap telah melenyapkan nyawa Sumardi.

/21 July 2012 lampungpost.com

Semoga artikel cerpen : Sang Kepala Desa bermanfaat bagi Anda.

Posting Komentar

AVairst - All Right Reserved.Powered By Blogger
Theme Designed Kumpulan artikel Menarik