KISAH "IPAR ITU ADALAH MAUT"
 
 Khalid duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang diliputi kesedihan 
dan kegalauan. Shaleh, kawannya, memperhatikan kegalauan dan kesedihan 
itu di wajahnya. Ia berdiri dari mejanya dan mendekati Khalid, lalu 
berkata padanya:
 
 “Khalid, kita ini berteman layaknya bersaudara
 sejak sebelum kita sama-sama bekerja. Aku perhatikan sejak seminggu ini
 selalu termenung, tidak konsentrasi. Engkau kelihatan begitu galau dan 
bersedih…”
 
 Khalid terdiam sejenak. Kemudian ia berkata:
 
 “Terima kasih atas kepedulianmu, Shaleh…Aku merasa memang membutuhkan 
seseorang yang dapat mendengarkan masalah dan kegelisahanku, barangkali 
itu bisa membantuku untuk mencari jalan keluarnya…”
 
 Khalid memperbaiki duduknya, lalu menuangkan segelas teh kepada kawannya, Shaleh. Kemudian ia berkata lagi:
 
 “Masalahnya, wahai Shaleh, seperti yang engkau tahu aku sejak menikah 8
 bulan lalu, aku dan istriku tinggal sendiri di sebuah rumah. Namun 
masalahnya adikku yang paling kecil, Hamd, yang berusia 20 tahun baru 
saja menyelesaikan SMA-nya dan diterima di salah satu universitas di 
sini. Dia akan datang satu atau dua minggu lagi untuk memulai kuliahnya.
 Ayah dan ibuku memintaku bahkan mendesakku agar Hamd dapat tinggal 
bersamaku di rumahku daripada ia harus tinggal di asrama mahasiswa 
bersama teman-temannya. Mereka takut nanti dia terseret mengikuti 
kawan-kawannya!
 
 Aku menolak hal itu, karena kamu tahu kan 
bagaimana seorang pemuda yang sedang puber seperti itu. Keberadaannya di
 rumahku akan menjadi bahaya besar. Kita semua sudah melewati masa 
remaja seperti itu. Kita tahu betul bagaimana kondisinya. Apalagi aku 
terkadang keluar dari rumah, sementara ia akan tetap berada di kamarnya.
 Mungkin juga aku pergi untuk beberapa hari untuk urusan pekerjaan…dan 
banyak lagi…
 
 Aku harus pula sampaikan padamu bahwa aku sudah 
menanyakan kepada salah seorang Syekh terkait masalah ini, dan beliau 
mengingatkanku untuk tidak mengizinkan siapapun, meski itu saudaraku 
sendiri untuk tinggal bersamaku dan bersama istriku di rumah. Beliau 
mengingatkanku tentang sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
 
 “Ipar itu adalah maut.”
 
 Maksudnya bahwa hal paling berbahaya bagi seorang istri adalah 
kerabat-kerabat dekat sang suami, seperti saudara dan pamannya, karena 
mereka biasanya dengan mudah masuk ke dalam rumah. Dan tidak ada yang 
meragukan bahwa fitnah yang sangat besar dan berbahaya dapat terjadi di 
sini.
 
 Lagi pula, engkau pasti tahu, wahai Shaleh, kita 
seringkali ingin berdua saja dengan istri di rumah agar kita bisa 
beristirahat bersamanya dengan selapang-lapangnya. Dan ini sudah pasti 
tidak bisa terwujud jika adikku, Hamd, tinggal bersama kami di rumah…”
 
 Khalid terdiam sejenak. Ia meneguk teh yang ada di depannya. Kemudian ia melanjutkan kembali ucapannya:
 
 “Aku sudah menjelaskan semuanya kepada ayah dan ibuku. Bahkan aku 
bersumpah bahwa yang aku inginkan adalah kebaikan untuk adikku, Hamd. 
Namun mereka justru marah kepadaku, mereka menyerangku di depan semua 
keluarga, menganggapku sudah durhaka, bahkan menyebutku berprasangka 
buruk kepada adikku, padahal ia menganggap istriku seperti kakaknya 
sendiri. Mereka mengira aku dengki pada adikku karena aku tidak 
menghendaki ia melanjutkan pendidikan tingginya…”
 
 “Yang lebih 
berat dari itu semua, wahai Shaleh, adalah karena ayahku telah 
mengancamku dengan mengatakan bahwa ini akan menjadi citra buruk dan aib
 besar di tengah keluarga, karena bagaimana adikku bisa tinggal bersama 
orang lain sementara rumahku ada. Ayahku mengatakan: ‘Demi Allah, jika 
Hamd tidak tinggal bersamamu, aku dan ibumu akan marah padamu hingga 
kami mati. Kami tidak pernah mengenalmu sejak hari ini, dan kami akan 
berlepas diri darimu di dunia sebelum di akhirat…”
 
 Khalid menundukkan kepalanya sejenak, lalu kembali berujar:
 
 “Sekarang aku sungguh bingung tidak tahu berbuat apa. Dari satu sisi, 
aku ingin menyenangkan hati ayah dan ibuku, tapi di sisi lain aku tidak 
ingin mengorbankan kebahagiaan keluargaku. Nah, sekarang bagaimana 
pandanganmu, wahai Shaleh, terhadap masalah yang sangat berat ini?”
 
 Shaleh memperbaiki duduknya. Ia kemudian mengatakan:
 
 “Tentu engkau ingin mendengarkan pendapatku sejelas-jelasnya dalam 
masalah ini, bukan? Karenanya izinkan aku untuk mengatakan kepadamu, 
wahai Khalid, bahwa engkau benar-benar seorang peragu dan bimbang. Sebab
 jika tidak begitu, untuk apa semua persoalan dan masalah ini terjadi 
bersama kedua orang tuamu? Bukankah engkau tahu bahwa ridha Allah itu 
bergantung pada ridha kedua orang tua, begitu pula kemurkaan-Nya 
bergantung pada kemurkaan mereka berdua? Lagi pula jika adikmu tinggal 
serumah denganmu, ia akan membantumu menyelesaikan urusan rumah. Dan 
ketika engkau tidak ada di rumah untuk suatu urusan, ia akan menjaga 
rumahmu selama engkau pergi.
 
 Shaleh sengaja diam sebentar. Ia 
ingin melihat bagaimana reaksi Shaleh terhadap apa yang diucapkannya. 
Kemudian ia melanjutkan dengan mengatakan:
 
 “Lagi pula aku ingin
 bertanya padamu: mengapa engkau berburuk sangka pada adikmu sendiri? 
Apa kamu lupa Allah melarang kita berburuk sangka kepada orang lain? 
Coba katakan padaku: bukankah engkau percaya dengan istrimu? Bukankah 
engkau percaya kepada adikmu?”
 
 Khalid segera memotongnya:
 
 “Aku percaya kepada istriku dan juga adikku, tapi…”
 
 “Kita kembali lagi menjadi ragu dan percaya pada praduga-praduga…,” 
potong Shaleh. “Percayalah, wahai Khalid, adikmu Hamd akan menjadi 
penjaga yang amanah untuk rumahmu, baik ketika engkau ada ataupun tidak.
 Ia tidak mungkin akan mengganggu istri kakaknya karena ia sudah 
menganggapnya seperti kakaknya. Dan coba tanyakan pada dirimu sendiri, 
wahai Khalid, jika adikmu Hamd kelak menikah, apakah engkau sempat 
berpikir untuk mengganggu istrinya? Aku yakin jawabnya tidak, bukan?
 
 Lalu kenapa engkau harus kehilangan ayahmu, ibumu dan saudaramu? 
Keluargamu akan berpecah hanya karena praduga-praduga seperti itu? 
Gunakanlah akal sehatmu. Buatlah ayah dan ibumu ridha agar Allah juga 
ridha pada-Mu. Dan jika engkau setuju, biarlah adikmu Hamd, tinggal di 
bagian depan dari rumahmu, kemudian kuncilah pintu pemisah antara bagian
 depan rumahmu dengan ruangan-ruangan lain.”
 
 Khalid akhirnya 
bisa menerima penjelasan kawannya, Shaleh. Di hadapannya, ia tidak punya
 pilihan selain menerima adiknya, Hamd untuk tinggal bersamanya di 
rumahnya.
 
 Beberapa hari kemudian, Hamd pun tiba. Khalid 
menjemputnya di bandara. Mereka kemudian meluncur menuju rumah Khalid di
 mana Hamd akan menempati bagian depannya. Dan seperti itulah yang 
terjadi selanjutnya…
 
 Hari demi hari terus berganti. Ia bergulit
 mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah. Dan kini kita 
telah berada di empat tahun setelah perisitiwa itu…
 
 Kini Khalid
 telah genap berusia 30 tahun. Ia telah menjadi ayah bagi tiga orang 
anak. Sementara Hamd kini telah memasuki tahun terakhir perkuliahannya. 
Ia sudah hampir menyelesaikan kuliahnya di universitas. Kakaknya, Khalid
 telah berjanji untuk mengupayakan pekerjaan yang layak untuk adiknya di
 universitas itu, dan membolehkannya tetap tinggal di rumah itu hingga 
ia menikah dan pindah dengan istrinya ke rumah tersendiri.
 
 Pada
 suatu malam, ketika Khalid baru saja pulang ke rumahnya dengan 
mengendarai mobilnya…Ia melintas di jalan yang bertepian dengan 
rumahnya. Tiba-tiba dari jauh ia melihat seperti dua sosok hitam di 
pinggir jalan. Ketika ia mendekat, ternyata seorang ibu tua dengan 
seorang gadis yang terbaring di tanah menangis kesakitan. Sementara sang
 ibu tua it uterus berteriak meminta tolong:
 
 “Tolong!! Toloooong kami!”
 
 Khalid sungguh heran dengan pemandangan itu. Rasa ingin tahunya 
mendorongnya untuk mendekat lebih dekat lagi dan bertanya mengapa mereka
 berdiri di pinggir jalan seperti itu.
 
 Ibu tua itupun 
menceritakan padanya bahwa mereka bukanlah penduduk kota itu. Mereka 
baru sepekan saja berada di situ. Mereka tidak mengenal siapapun di 
sini, dan bahwa gadis itu adalah anaknya, suaminya sedang pergi ke luar 
kota untuk urusan pekerjaan. Dan sekarang si anak itu mengalami sakit 
melahirkan sebelum waktunya. Anaknya hampir mati karena rasa sakit yang 
luar biasa itu, sementara mereka tidak menemukan seorang pun yang dapat 
mengantar mereka ke rumah sakit.
 
 Ibu tua itu meminta tolong dan
 memohon-mohon padanya sembari mengucurkan air mata: “Tolonglah, aku 
akan mencium kedua kakimu….bantulah aku dan anakku ke rumah sakita 
terdekat! Semoga Allah menjagamu, istrimu dan anak-anakmu dari semua 
musibah.”
 
 Air mata ibu tua dan erangan kesakitan gadis itu 
membuatnya terenyuh. Ia benar-benar merasa kasihan. Dan karena dorongan 
untuk membantu orang kesulitan, ia pun setuju untuk membawa mereka ke 
rumah sakit terdekat. Ia segera menaikkan mereka ke mobilnya, dan 
secepatnya meluncur ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, ibu 
tua itu tidak putus-putusnya mendoakan kebaikan dan keberkahan untuk 
Khalid dan keluarganya.
 
 Tidak lama kemudian, mereka pun sampai 
ke rumah sakit. Setelah menyelesaikan urusan administrasinya, gadis itu 
kemudian dimasukkan ke dalam ruang operasi untuk menjalani operasi 
cesar, karena ia tidak mungkin melahirkan secara normal.
 
 Karena
 ingin berbuat baik, Khalid merasa kurang enak jika segera pergi dan 
meninggalkan ibu tua itu bersama putrinya di sana sebelum ia merasa 
yakin betul akan keberhasilan operasi itu dan bayi yang dikandungnya 
keluar dengan selamat. Ia pun menyampaikan kepada ibu tua itu bahwa ia 
akan menunggunya di ruang tunggu pria. Ia meminta pada ibu itu untuk 
mengabarinya jika operasi itu selesai dan proses melahirkan itu berhasil
 dengan selamat. Khalid kemudian menghubungi istrinya dan menyampaikan 
bahwa ia akan sedikit terlambat pulang ke rumah. Ia menenangkan istri 
bahwa ia baik-baik saja.
 
 Khalid pun duduk di ruang menunggu 
khusus pria. Ia menyandarkan punggungnya ke tembok, dan kelihatannya ia 
sangat mengantuk. Ia pun tertidur tanpa ia sadari. Khalid tidak pernah 
tahu berapa lama waktu berjalan selama ia tertidur. Namun yang ia ingat 
betul adalah pemandangan yang tidak akan pernah ia lupakan untuk 
selamanya…Ketika ia tiba-tiba terbangun oleh suara dokter jaga dan dua 
petugas keamanan yang mendekatinya, sementara si ibu tua tadi 
berteriak-teriak sambil menunjuk ke arahnya: “Itu dia! Itu dia!!”
 
 Khalid sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia berdiri dari tempat 
duduknya dan segera mendatangi ibu tua itu, lalu berkata: “Apakah proses
 kelahirannya berhasil, Bu?”
 
 Dan sebelum ibu tua itu mengucapkan sesuatu, seorang petuga keamanan mendekatinya dan bertanya: “Anda Khalid?”
 
 “Iya, benar,” jawabnya.
 
 “Kami ingin Anda datang sekarang juga ke ruang kepala keamanan!” ujar petugas itu.
 
 Semuanya akhirnya masuk ke ruang kepala keamanan dan mengunci pintunya.
 Ketika itulah, ibu tua itu kembali berteriak dan memukul-mukul badannya
 sendiri. Ia mengatakan: “Inilah penjahat keji itu!! Aku harap kalian 
tidak melepaskan dan membiarkannya pergi! Duhai malangnya nasibmu, wahai
 putriku!”
 
 Khalid hanya bisa terkejut penuh kebingungan, tidak 
memahami apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Ia tidak sadar dari 
kebingungannya kecuali setelah polisi itu mengatakan:
 
 “Ibu tua 
ini mengaku bahwa engkau telah berzina dengan putrinya. Engkau telah 
memperkosanya hingga hamil. Lalu ketika ia mengancammu untuk melaporkan 
ini pada polisi, engkau berjanji akan menikahinya. Namun setelah 
melahirkan, kalian akan meletakkan anak bayi itu di pintu salah satu 
mesjid agar ada orang baik yang mau mengambilnya untuk membawanya ke 
panti sosial!”
 
 Khalid benar-benar terkejut mendengarkan ucapan 
itu. Dunia menjadi gelap di matanya. Ia tidak lagi bisa melihat apa yang
 ada di depannya. Kalimat-kalimatnya tertahan di kerongkongannya. Hingga
 tiba-tiba saja ia terjatuh, tidak sadarkan diri.
 
 Tidak lama 
kemudian, Khalid tersadar dari pingsannya. Ia melihat dua orang petugas 
keamanan bersama di dalam ruangan itu. Seorang polisi khusus yang ada di
 situ segera mengajukan pertanyaan untuknya:
 
 “Khalid, coba 
sampaikan yang sebenarnya. Karena kalau kami melihat sosokmu, nampaknya 
engkau adalah seorang yang terhormat. Penampilanmu menunjukkan bahwa 
engkau bukanlah pelaku yang melakukan kejahatan seperti ini.”
 
 Dengan hati yang sangat hancur, Khalid mengatakan:
 
 “Tuan-tuan, apakah seperti balasan untuk sebuah kebaikan? Apakah 
seperti ini kebaikan itu dibalas? Aku adalah seorang pria terhormat dan 
baik-baik. Aku sudah menikah dan punya tiga orang anak: Sami, Su’ud dan 
Hanadi. Dan aku tinggal di lingkungan baik-baik…”
 
 Khalid tidak 
bisa menguasai dirinya. Air matanya mengalir deras dari kedua pelupuk 
matanya. Kemudian ketika ia mulai tenang, ia pun menceritakan kisahnya 
dengan ibu tua dan putrinya itu secara lengkap.
 
 Dan ketika Khalid selesai menyampaikan informasinya, polisi itu berkata padanya:
 
 “Tenanglah! Aku percaya bahwa engkau tidak bersalah. Tapi persoalannya 
adalah semuanya harus berjalan sesuai prosedur. Harus ada bukti yang 
menunjukkan ketidakbersalahanmu dalam masalah ini. Perkaranya sangat 
mudah dalam kasus ini. Kami hanya akan melakukan beberapa pemeriksaan 
laboratorium medis khusus yang akan menyingkap hakikat sebenarnya.”
 
 “Hakikat apa?” potong Khalid. “Hakikat bahwa aku tidak bersalah dan seorang yang terhormat? Apakah kalian tidak mempercayaiku?”
 
 Keesokan paginya, selesailah pengambilan sampel sperma milik Khalid 
untuk kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa dan diteliti. 
Khalid duduk bersama polisi khusus di sebuah ruangan lain. Ia tak 
putus-putusnya berdoa dan meminta kepada Allah agar menunjukkan apa yang
 sebenarnya telah terjadi!
 
 Kurang lebih dua jam kemudian, 
datanglah hasil pemeriksaan tersebut. Hasilnya sungguh mengejutkan. 
Pemeriksaan itu menunjukkan bahwa Khalid sama sekali tidak bersalah 
dalam masalah ini. Itu sepenuhnya adalah tuduhan dusta. Khalid tak kuasa
 menahan rasa gembiranya. Ia bersujud kepada Allah sebagai ungkapan rasa
 syukurnya karena Ia telah menunjukkan ketidakbersalahannya dalam kasus 
itu. Petugas polisi itupun meminta maaf atas gangguan yang mereka 
munculkan. Kemudian si ibu tua dan putrinya itupun ditangkap dan dibawa 
ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut.
 
 Sebelum 
meninggalkan rumah sakit, Khalid berusaha untuk berpamitan kepada dokter
 spesialis yang telah melakukan pemeriksaan tersebut, karena telah 
menjadi sebab kebebasannya dari tuduhan keji itu. Ia pun pergi menemui 
sang dokter di ruangannya untuk berpamitan dan berterima kasih. Namun 
dokter itu justru memberikan kabar kejutan padanya:
 
 “Jika Anda berkenan, saya ingin berbicara dengan Anda secara khusus beberapa menit…”
 
 Dokter itu nampak agak gugup, lalu seperti berusaha mengumpulkan keberaniannya ia berkata:
 
 “Khalid, sebenarnya dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, 
saya khawatir Anda mengidap sebuah penyakit! Tapi saya belum bisa 
memastikannya. Karena itu saya harap Anda berkenan untuk melakukan 
beberapa pemeriksaan lagi untuk istri dan anak-anak Anda agar saya bisa 
memastikannya dengan yakin…”
 
 Dengan perasaan dan raut wajah penuh keterkejutan dan kekhawatiran, Khalid pun berkata:
 
 “Dokter, tolong kabarkan pada apa yang sedang kuderita…aku rela 
menerima semua takdir Allah bagiku. Yang paling penting bagiku adalah 
anak-anakku yang masih kecil. Aku siap mengorbankan apa saja untuk 
mereka…”
 
 Lalu ia menangis tersedu-sedu. Dokter berusaha untuk menenangkannya dan berkata:
 
 “Sebenarnya saya tidak bisa mengabari Anda sekarang sampai saya 
benar-benar yakin dengan hal itu. Boleh jadi keraguanku tidak pada 
tempatnya. Tapi segeralah bawa ketiga anakmu ke sini untuk pemeriksaan.”
 
 Beberapa jam kemudian, Khalid pun membawa istri dan anak-anaknya ke 
rumah sakit itu. Selanjutnya mereka diperiksa dan diambil 
sampel-sampelnya yang dibutuhkan untuk pemeriksaan laboratorium. Setelah
 itu, ia membawa mereka pulang lalu ia kembali lagi ke rumah sakit untuk
 menemui dokter itu lagi. Ketika mereka berdua sedang mengobrol, 
tiba-tiba telefon genggam Khalid berbunyi. Ia mengangkatnya dan 
berbicara kepada orang yang menelponnya beberapa menit.
 
 
Kemudian setelah selesai, ia kembali melanjutkan pembicaraannya dengan 
dokter yang mendahuluinya dengan pertanyaan: “Siapa orang yang padanya 
kau sampaikan untuk tidak membongkar pintu apartemen itu?”
 
 “Ia 
adikku, Hamd. Ia tinggal bersama kami dalam satu apartemen. Ia telah 
menghilangkan kuncinya dan memintaku untuk segera pulang agar dapat 
membuka kunci pintu yang tertutup itu,” jawab Khalid.
 
 “Sejak kapan ia tinggal bersama kalian?” tanya dokter heran.
 
 “Sejak empat tahun yang lalu,” jawab Khalid. “Saat ini, ia sedang menyelesaikan tahun terakhirnya di universitas.”
 
 “Bisakah engkau menghadirkannya pula besok untuk juga diperiksa? Kami 
ingin memastikan apakah penyakit ini keturunan atau bukan?” tanya 
dokter.
 
 “Dengan senang hati, besok kami akan hadir ke sini bersama,” jawab Khalid.
 
 Pada waktu yang telah ditentukan, Khalid dan Hamd, adiknya, hadir di 
rumah sakit. Dan akhirnya selesai pula pemeriksaan laboratorium terhadap
 sang adik. Dokter kemudian meminta Khalid untuk menemuinya satu pekan 
dari sekarang untuk mengetahui hasil akhirnya…
 
 Sepanjang pekan 
itu, Khalid hidup dalam kegalauan dan kegelisahan. Pada waktu yang 
dijanjikan, Khalid pun datang pada minggu berikutnya. Dokter 
menyambutnya dengan hangat. Ia juga memesankan segelas lemon untuknya 
agar ia lebih tenang. Dokter mengawali penjelasannya dengan mengingatkan
 Khalid betapa pentingnya bersabar menghadapi musibah, dan memang 
demikianlah dunia itu!
 
 Khalid memotong pembicaraan dokter itu dengan mengatakan:
 
 “Tolong, Dokter, Anda jangan membakar tubuhku lebih lama lagi. Aku 
sudah siap untuk menanggung penyakit apapun yang menimpaku. Ini telah 
menjadi takdir Allah untukku. Apa yang sebenarnya telah terjadi, 
Dokter?”
 
 Dokter itu menganggukkan kepalanya lau berkata:
 
 “Seringkali, hakikat yang sebenarnya itu begitu menyakitkan, keras dan 
pahit! Tapi harus diketahui dan dihadapi! Sebab lari dari masalah tidak 
akan menyelesaikannya dan tidak akan mengubah keadaan.
 
 Dokter itu terdiam sebentar. Lalu ia pun menyampaikan yang sebenarnya:
 
 “Khalid, mohon maaf, sebenarnya Anda itu mandul dan tidak bisa punya 
anak…, Ketiga anak itu bukan anak Anda. Mereka adalah anak adik Anda, 
Hamd.”
 
 Khalid tidak mampu mendengarkan kenyataan pahit itu. Ia 
berteriak histeris hingga teriakannya memenuhi penjuru rumah sakit. Lalu
 ia jatuh tak sadarkan diri.
 
 Dua minggu kemudian, barulah ia 
sadar dari ketidaksadarannya yang panjang. Namun ketika ia sadar, ia 
telah menemukan hidupnya hancur berkeping-keping.
 
 Khalid 
mengalami stroke di setengah bagian tubuhnya. Kewarasannya hilang akibat
 berita yang menyakitkan itu. Ia akhirnya dipindahkan ke rumah sakit 
jiwa untuk melewati hari-harinya yang tersisa.
 
 Adapun istrinya,
 maka ia telah diserahkan kepada Mahkamah Syariat untuk membenarkan 
pengakuannya lalu dihukum dengan hukum rajam hingga mati.
 
 Sedangkan adiknya, Hamd, ia sekarang berada di dalam penjara menunggu keputusan hukum yang sesuai dengan kejahatannya.
 
 Sedangkan ketiga anak itu, mereka dipindahkan ke panti sosial untuk 
akhirnya hidup bersama anak-anak yatim dan mereka yang dipungut dari 
jalanan. Begitulah, sunnatullah berlaku: “Ipar itu adalah maut.”
 
 ‘Dan engkau tak akan menemukan perubahan pada ketentuan Allah.”
 
 Sumber : “Chicken Shoup For Muslim, Penerbit Sukses Publishing Hal. 
105-122 via Facebook Penerbit Shafa Publika via 
alqiyamah.wordpress.com/2011/09/20/ipar-itu-adalah-maut
Semoga artikel KISAH "IPAR ITU ADALAH MAUT" bermanfaat bagi Anda.
Posting Komentar